Selasa, 29 Januari 2013

“Konsepsi Catur Varna menurut Hindu”


            Sekarang ini kita tidak asing lagi dengan pernikahan beda kasta, seperti Kasta Brahmana menikah dengan Kasta Sudra. Namun ketika zaman dahulu, hal ini masih di perdebatkan, bahkan di daerah-daerah tertentu di bali, hal ini juga masih menjadi pertentangan yang sengit. Karena menurut pemikiran mereka, bahwa pernikahan beda kasta dianggap melanggar norma-norma serta nilai yang telah berkembang di masyarakat. Akan tetapi, semakin maju perkembangan pola pikir masyarakat sekitar, hal ini mulai mengendor perlakuannya. Terbukti dengan banyaknya kaum Brahmana menikah dengan kaum Waisya atau Sudra. Dahulu, Kasta dianggap sebagai pemisahan golongan masyarakat berdasarkan pekerjaan, seperti kaum Brahmana bertugas untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan suci weda, Ksatria bertugas di pemerintahan, Waisya bertugas untuk berdagang, dan Sudra bertugas sebagai Budak. Namun nama “Kasta” sudah berubah dengan nama “Warna” yang tidak jauh memiliki arti yang sama pula, hanya saja bukan jenis pekerjaan yang membedakannya tetapi keturunannya. Hal ini terbukti dari banyaknya kaum Brahmana, Waisya maupun Sudra yang bertugas di Pemerintahan yang seharusnya hanya menjadi tugas seorang Ksatria saja.
            Dahulu, pengetahuan suci atau veda hanya dapat dipelajari oleh orang suci juga seperti kaum Brahmana yang nantinya akan menjadi pemangku atau pedanda. Sedangkan kaum Ksatria, Waisya, maupun Sudra tidak boleh mempelajari Weda. Tetapi sekarang, Veda dapat dipelajari oleh siapapun termasuk golongan Sudra sekalipun. Karena ilmu pengetahuan merupakan hal yang suci asalkan yang mempelajari Veda itu dalam pikiran yang suci pula. Toh nantinya, ilmu pengetahuan itu akan berguna bagi siapa saja yang memerlukannya. Mungkin, menurut pemikiran orang-orang jaman dahulu bahwa veda akan ternodai jika dipelajari oleh kaum-kaum tidak terpelajar seperti kaum Sudra. Namun balik lagi kepada pengertian ilmu pengetahuan itu sendiri, bahwa pengetahuan tidak akan ternodai oleh apapun hanya karena dipelajari oleh orang yang tidak terpelajar. Asalkan yang mempelajarinya memiliki hati yang suci dan tuus, veda itu akan tersucikan dengan sendirinya.
            Sesungguhnya, keempat Catur Varna sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Keempat catur varna ini tidak dapat dipisahkan oleh apapun. Jika di ibaratkan sebagai bagian dari tubuh dari manusia, Brahmana di ibaratkan sebagai Kepala dari manusia sebagai otak dari segala yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, Ksatria di ibaratkan seperti Tangan kita yang berfungsi menggerakan tangan kita setelah diperintahkan dari otak itu sendiri, Waisya di ibaratkan seperti Perut kita, jika perut kita kosong, apa kita dapat berpikir dengan jernih? Tentu tidak, selanjutnya adalah Sudra yang di ibaratkan sebagai Kaki kita yang berfungsi untuk melayani kemanapun kita ingin melangkah. Coba bayangkan saja jika kita hanya memiliki Kepala, Perut dan Kaki, sedangkan kita tidak memiliki tangan, apa kita dapat mengambil sesuatu yang dikehendaki oleh kita? Tentu tidak bisa bukan? Ya sama halnya dengan keberadaan Catur Varna itu, keempatnya tidak dapat dipisahkan karena memilki fungsi masing-masing yang semuanya saling terkait antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu jangan pernah kita menganggap bahwa Varna atau Kasta itu sebagai sesuatu yang negative. Tapi anggaplah itu sebagai suatu kesatuan yang mengatur kehidupan kita di masyarakat.
 https://docs.google.com/file/d/0B2LQRHIEG0Pha3FuSkZON1dhQ2s/edit


“Ngayah menurut Pandangan Hindu”



 Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa bekerja tidak hanya menjadi seorang karyawan atau pegawai. Menurut pandangan hindu, ngayah juga termasuk dalam salah satu pekerjaan, tetapi pekerjaan yang tidak mengharapkan upah atau hasil. Ngayah tentu bukan merupakan hal aneh bagi umat hindu umumnya, atau masyarakat Hindu Bali khususnya. Dalam berbagai kegiatan keagamaan Hindu, ngayah itu bagai “Oksigen” yaitu suatu kebutuhan hakiki yang menghidupkan darah religiusitas kita. Tapi pada saat yang sama ngayah sekaligus bagai “air dan api kosmis” yang mencuci jernih keruh-keruh karma kita atau membakar bebaskan benih-benih kemalasan (tamasa) yang mencengkram Dharma kita. Sejauh mana manusia Hindu memahami, menghayati dan merefleksikan ngayah dalam kehidupan keagamaannya? Secara intra-personal (dalam hubungan manusia dengan Tuhannya) adalah terpulang kepada manusia Hindu bukanlah manusia yang terasing secara inter-personal (hubungan horizontal antara yang satu dengan yang lainnya) atau sosio-kultural. filosofi ngayah sangat relevan kita angkat sebagai “Pratipadhya”(topik) untuk diperbincangkan dalam tulisan ini, terutama dalam konteknya dengan kehidupan sosioreligius-kultural Hinduisme. Mengapa dan untuk apa kita ngayah? Apa sih sesungguhnya arti dan makna dari ngayah itu dalam hidup keagamaan kita? Dan seratus pertanyaan bisa bermunculan dari topik tersebut.
                Ngayah secara harfiah memiliki arti melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990) Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah”yang terpancar dari budaya PURUSAISME atau Patrilineal/Patrirhat (garis keturunan ayah), terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada Tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan konskuensinya. Sebagai salah satu wujud tanggung jawab dalam ngayah, ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi/dijalankan oleh seseorang yang mendiami tanah ayahan, yakni:
1.       Kewajiban religius-teritorial, terutama Pura Kahyangan Tiga (pengayah pura)
2.       Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural banjar adat (pengayah banjar adat)
3.       Kewajiban berupa dedikasi, loyalitas berkaitan dengan raja-raja yang memerintah pada masa itu (pengayah puri). Karena sebagian tanah-tanah ayahan itu adalah pemberian dari raja yang diperoleh (sebagai rampasan perang) atas penaklukan kerajaan/ daerah lain.
Dari latar belakang sosiologis dan historis semula kata ngayah berasal dari kata ayah, pengayah, ayahan, dan ngayahang, saling terkait dan telah membawa konsekuensi logis bagai pengayah untuk melakukan kewajiban sosio-religiuskultural, yakni ngayahang. Konsekuensi eksistensislistis ini juga berimplikasi terhadap kenyataan lingual budaya ngayah itu sendiri. Namun sering kali muncul pertanyaan, “apakah ngayah masih relevan untuk jaman sekarang ini?” jawabannya, “ya”. Refleksi ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan catatan, bahwa segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia Hindu itu dilandasi Jiwa Dasyam yang tulus dan ikhlas kepada Ista Dewata (Hyang Widhi dalam segala perwujudannya sebagai SAGUNA BRAHMAN, atau pun dalam ketidakberwujudannya sebagai NIRGUNA BRAHMAN yang dipuja/puji sebagai satu-satunya perlindungan). Bentuk pemahaman, penghayatan dan implementasi ngayah dalam arti luas ini, antara lain dapat direfleksikan melalui menulis cerita-cerita ke-Tuhanan, menulis buku-buku agama, Dharma wacana, menyekolahkan anak yatim/piatu, mengajarkan tentang agama dan sebagainya.
Adapun hakikat filosofi ngayah yang menjelaskan bahwa aktivitas ngayah masih melekat dalam sikap bathin dan budaya manusia Hindu yang selalu berpegang pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah” dan “ibadah dalam kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat) pemahaman demikian tertuang salam motto “ora et labora” (bekerjalah dan berdoalah). Paham kerja dalam folosofis ini ialah representasi kerja dari sesosok “para bhakta” sebagai “Dasyam” kepada Ista Dewata.  Seperti isi sloka yang terdapat dalam kitab Bhagavad Gita bab II sloka 47 berikut ini:
Karmany evadhikaras te
ma phalesu kadacana
ma karma phala heturbhur
 ma te sanggostava akarmani

artinya: Hanya berbuat untuk kewajiban bukan hasil perbuatan itu (kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu bekerja, jangan pula tidak bekerja (sebab tak berharap pahala).

Dalam paham kerja ini, hanya semata-mata untuk pahala material (pamrih), atau sama sekali tidak bekerja, (nirkarma) karena semata-mata sesempit “angin di kurungan ruas bambu” sindiran Mpu Kanwa. Etika keutamaan yang berabad-abad telah dikemukan oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles yang pada dasarnya berorientasi pada “being human”, dengan rumusan “what kind of person should I be?” (saya harus menjadi orang yang bagaimana). Sedang etika kewajiban yang dikembangkan oleh David Hume, dan Kant bagi kehidupan zaman modern, pada prinsipnya berorientasi pada “ doing human?” dengan rumusan “what should I do?”(apa yang harus saya lakukan?). Rumusan ini bagi sosok manusia Hindu lebih jauh diperdalam dalam pemahaman “kharisma” yang di sebut “Taksu”. Konsep ini spiritual taksu menjadi dasar baik dalam representasi paham kerja yang mengacu pada being maupun doing manusia. konsep ini tidak semata-mata memberi pergulatan teknik, tapi juga religius yang pengayan dan pendalaman atas nuansa spiritual dan theologisnya tentu berbaris pada aktivitas NGAYAH.
Dalam tatanan inilah kegiatan ngayah secara filosofis adalah upaya yang otomatis memiliki hakikat kebebasan eksistensial ini, seperti di sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh dari langit yang dinyatakan : “tan hanang wastu tan palalayan” (tiada anugerah tanpa suatu usaha sungguh-sungguh untuk menggapai-Nya. Berikut ini ada beberapa sloka yang memuat etos kerja menurut pandangan hindu:





1.      Atharvaveda XX.18.3
Icchanti devah sunvantam
Na svapnaya sprhayanti.
Yanti pramadam atandrah.

Artinya: Para dewa menyukai orang-orang yang bekerja keras. Para Dewa tidak menyukai orang-orang yang gampang-gampangan dan bermalas-malas. Orang-orang yang selalu waspada mencapai kebahagiaan yang agung.

2.      Atharvaveda X. 53. 8
Krtam me daksine haste
Jayo me savya ahitah
Gojid bhuyasam asyajid
Dhanamjayo hiranyajit

Artinya: Ketekunan semoga ada di tangan kanan dan kejayaan ada di tangan kiri. Semoga kami mendapatkan sapi-betina, kuda, kekayaan dan emas

3.      Rgveda X 42. 10
Gobhis tarkma-amatim durevam
Yavena ksudham puruhuta visvam
Vayam rajabhih prathama dhanani-
Asmakev janena jayema

Artinya: Ya, Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, semoga kami menyeberangi kemiskinan yang tidak bisa itu dengan memperoleh sapi-sapi betina itu. Semoga kami mengatasi rasa lapar kami dengan memilikki makanan padi-padian seperti gandum, semoga kami memperoleh kekayaan dari para raja dan mencapai keberhasilan dengan usaha-usaha kami.

4.      Rgveda X. 117.7
Krsan it phala asitam krnoti
Yan adhvanam apa vrnkte caritraih
Vadan brahma vadato vaniyan
Prnan apir aprnantam abhi syat

Artinya: Sebuah mata bajak yang membajak menghasikan padi-padian, seorang laki-laki yang berjalan menteberangi jalanan. Seorang laki-laki yang terpelajar menyanyikan mantra-mantra Veda, adalah lebih unggul daripada seorang yang tetap diam. Orang yang dermawan melebihi orang yang tidak menolong temannya.

5.      Rg veda VII.32.9
Ma sredhata somino daksata mahe
Krnudhvam raya atuje
Taranir ij jayati kseti pusyati
Na devasah kavatnave

Artinya: Wahai orang-orang yang berpikiran mulia, janganlah tersesat, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kekayaan. Orang yang bersemangat (tekun sekali) berhasil, hidup berbahagia dan menikmati kemakmuran. Para dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malas.

6.      Canakya Nitisastra VII.2.
Dhana-dhanya prayogesu vidya saygrahanenu ca,
Ahare vyahara ca tyakta lajjaa sukhi bhavet

Artinya: Dalam urusan mencari beras dan dalam urusan keuangan, dalam hal menuntut ilmu, dalam hal menikmati makanan dan dalam hal berdagang, orang hendaknya meninggalkan rasa malu. Orang tersebut akan memperoleh kebahagiaan.

7.      Sarasamuccaya 261
Dharmenarthah samaharyo
Dharmalabdham triad dhanam,
Kartavyam dharma paramam
Manavena prayatnatah

Artinya: Dengan cara berusaha memperoleh sesuatu hendaklah berdasarkan dharma. Dana yang diperoleh karena usaha, hendaklah dibagi tiga, guna melaksanakan (biaya) mencapai yang tga itu; perhatikanlah itu baik-baik.


Dari sloka di atas, dapat disimpulkan bahwa bekerja menurut pandangan Hindu adalah, bekerja yang sesuai dengan kewajibannya dan dharma, janganlah hasil yang diharapkan. Melakukan pekerjaan sendiri meskipun tidak sempurna, lebih baik daripada melakukan pekerjaan orang lain tapi dengan sempurna. Meskipun bekerja dalam hal ini tidak harus selalu dikaitkan dengan ngayah, yang terpenting, pekerjaan yang dilakukan harus berlandaskan dengan dharma. Untuk memperoleh kekayaan yang berlimpah, seseorang harus melakukan usaha dan kerja keras tentunya disertai dengan berdoa. Karena Tuhan/ Brahman tidak akan mengasihani orang-orang yang bermalas-malasan.
Dengan berkaca pada sloka-sloka di atas, tentunya masyarakat hindu memandang jenis pekerjaan bukanlah hanya sekedar ngayah saja, melainkan banyak pekerjaan lain yang dapat dilakukan, dengan catatan bahwa pekerjaan tersebut baik dan harus dilaksanakan sesuai dengan dharma. Dan janganlah kita sekali-sekali melakukan pekerjaan orang lain dengan sempurna tetapi pekerjaan sendiri tidak dilakukan dengan sempurna. Dalam konteks ini, bukan berarti kita tidak boleh menolong sesama, tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah mengambil pekerjaan orang lain yang bukan merupakan tanggung jawab kita. Di dalam ajaran agama hindu juga terdapat ajaran Karma Marga Yoga yang merupakan etos kerja atau budaya kerja bagi bagi umat Hindu di dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin.

https://docs.google.com/file/d/0B2LQRHIEG0PhSzV6akJCVkhDNWc/edit













“Upacara Korban Suci menurut Tradisi Hindu”


               Upacara yadnya merupakan persembahan suci yang tulus ikhlas dengan maksud mulia dan luhur. Upacara yadnya harus dilandasi dengan keyakinan bahwa ”dengan beryadnya, para dewa memelihara manusia dan dengan yadnya pula manusia memelihara dewa” (Rg Veda X.90). yadnya juga dipandang sebagai memelihara hubungan dan solidaritas dengan Tuhan, yadnya itu dilaksanakan karena adanya konsepsi  bahwa manusia memiliki tiga jenis hutang yang disebut dengan Tri Rna (Dewa Rna, Pitra Rna, dan Rsi Rna). Pelaksanaan yadnya yang dilandasi oleh bhakti semakin kompleks ketika hal itu dikaitkan dengan ajaran panca yadnya yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas, antara lain:
1.       Dewa Yadnya     : Persembahan saji-sajian kepada para dewa
2.       Rsi Yadnya           : Persembahan dan penghormatan kepada para pendeta
3.       Pitra Yadnya       : Persembahan kepada roh leluhur dengan cara menyelenggarakan upacara               pembakaran mayat
4.       Manusa Yadnya                : Upacara penyucian yang ditujukan kepada manusia mulai dari lahir hingga mati
5.       Bhuta Yadnya    : Persembahan kepada bhuta kala berupa roh halus yang sering mengganggu manusia berupa segehan atau caru
Perpaduan antara konsepsi Panca Sradha, Catur Marga, dan Panca Yadnya memperlihatkan bahwa aktivitas masyarakat Hindu Bali lebih didominasi oleh aktivitas ritual, tidak saja dalam hubungan dengan Tuhan dan Manusi tetapi juga dengan lingkungan alam. Anjuran untuk hidup dengan Tuhan, Manusia dan Lingkungan alam disebut dengan Ajaran Tri Hita Karana yang memiliki arti tiga penyebab manusia mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian. Keseluruhan upacara yadnya tadi menjadi semakin terpola dan ekspresif karena di dukung oleh seni musik, tari, ukir, suara dan sastra. Dalam bidang seni tari dan tabuh misalnya tari wali, bebali, dan balih-balihan. Dalam bidang musik misalnya gamelan yang hampir seluruhnya dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori.
Bahasan diatas menggambarkan bahwa pelaksanaan upacara yadnya di Bali di dukung oleh seni dalam artian luas, malahan terkesan seni itu melekat dengan yadnya karena keindahan itu sendiri dipersembahkan kepada Tuhan sebagai wujud Bhakti. Luluhnya seni dalam ritual agama tidak dapat dilepaskan dari wadah proses di objektivasi. Di samping melalui lembaga keluarga dalam arti luas, peran lembaga tradisional seperti desa, banjar, dan sekaa tidak dapat dikesampingkan. Malahan banjar dianggap sebagai dimensi yang bersifat structural bagi para individu warga banjar untuk harus tunduk pada aturan-aturan yang telah disepakati melalui rapat banjar.

“Transendensi Bali”



                Bali bukan lagi sekedar memiliiki keindahan alam dan warga yang ramah. Tetapi, bali juga mengalami kekayaan nilai dan aktivitas peribadatan atas keyakinannya atas kekuatan yang jauh lebih besar. Bali  bukanlah panorama alam yang memikat semata sebagai konsepsi profan, tetapi masyarakat bali memiliki penghayatan dan pengabdian nilai atas nilai-nilai luhur kepada sang Pencipta. Inilah dimensi Transendensi warga Bali. Nilai adalah sesuatu yang dianggap paling berharga dalam kehidupan bermasyarakat pada zamannya. Nilai juga dapat berwujud cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Nilai sering kali diyakini sebagai representasi komitmen moral  bagi para anggota komunitas tertentu yang dijadikan acuan dalam hidup bersama, digunakan sebagai sumber apresiasi, berkreativitas, dan mengungkapkan berbagai kata hati. Moral sangatlah berharga, maka dari itu menjadi kewajiban bagi setiap anggota untuk memelihara, melestarikan dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran mereka.
                Dari waktu ke waktu, berbagai kebutuhan muncul sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah di adaptasi, di akomodasi, dan dijadikan acuan bersama. Akibatnya, terdapat komitmen moral yang tadinya dirumuskan untuk tujuan baik, namun dalam kenyataannya telah mengalami benturan dan dianggap menjadi sesuatu yang tidak sesuai. Dalam mekanisme, terjadi peningkatan modifikasi atau adaptasi dengan modifikasi melalui beberapa proses pemahaman dan penafsiran  kea rah tingkat abstraksi yang berlaku umum. Hal ini dapat berarti ganda atau ambigu. Yakni manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan dan sebaliknya, manusia berusaha menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka dalam berbagai aktivitas kebudayaan mereka. Jika manusia menganggap cara penyesuaian dan cara member arti yang dilakukan sebelumnya kurang relevan, cara itu akan diganti dengan cara yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman dan soisalisasi.
                Pemahaman secara cermat mengindikasikan bahwa dalam proses itu diakui ada aktivitas manipulasi simbolis yaitu suatu cara yang mengedepankan kultur yang relevan dan menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan adalah kenyataan bahwa kebudayaan hanya berhubungan dengan hal yang subjektif. Sedangkan tindakan sosial serta benda material yang objektif merupakan hasil kebudayaan. Hal ini berarti terdapat pemisahan yang tegas antara kebudayaan dan hasil kebudayaan. Pengertian pertama yang bersifat subjektif dan kedua yang bersifat objektif teramati. Dengan pernyataan lain, kebudayaan adalah jagat makna atau nilai yang dikomunikasikan melalui simbol sakral sebagai terminologis budaya yang sifatnya teoritis dan simbolik. Ia berasal dari proses refleksi subjektif dan setelah melalui proses objektivasi sosial melahirkan ikatan eksplisit antara tema-tema penting yang berakar dalam berbagai lembaga. Makna sakral dalam konteks ini karena kekuatan penyeimbang selalu diharapkan dari kekuatan transenden, tentunya di samping hal nyata yang imanen.https://docs.google.com/file/d/0B2LQRHIEG0PhdEhQbWNtMml6Rk0/edit

Minggu, 27 Januari 2013

“Korelasi Ajaran Catur Purusa Artha dengan Ajaran Catur Asrama”




Om Swastiastu,
                Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa Hindu kaya akan ajaran-ajaran mengenai Ketuhanannya. Diantaranya seperti, Sraddha, Yadnya, Tri Hita Karana, Catur Asrama, Catur Purusa Artha, dan masih banyak yang lainnya. Akan tetapi, saya akan mencoba mengangkat Tema “Catur Purusa Artha” dengan judul “Merefleksikan Ajaran Catur Purusa Artha dalam Kehidupan Sehari-hari”. Catur Purusa Artha berasal dari akar kata Catur yang berarti Empat, purusa yang berarti Jiwa, dan Artha yang berarti Tujuan Hidup. Jadi, Catur Purusa Artha adalah Empat Tujuan hidup manusia. Catur Purusa Artha memiliki kaitan yang erat dengan Catur Varga yang berarti empat tujuan hidup manusia yang terjalin erat satu dengan yang lainnya. Uraian mengenai keterkaitan Catur Purusa Artha dan Catur Varga, dapat kita temui dalam Susastera India yang telah ditulis berabad-abad lamanya. Misalnya dalam Kitab Mahabharata atau Asta Dasa Parva. Karena kitab kesusasteraan India banyak diterjemahkan kedalam bahasa Jawa Kuno (Kawi), maka uraian tentang Catur Purusa Artha juga banyak ditemui dalam sumber-sumber jawa kuno lainnya, seperti Kekawin Ramayana, Sarasamusscaya, dan sebagainya.
                Kitab-kitab tersebut merupakan kitab yang banyak dibaca dan digemari sampai saat ini, maka ajaran Catur Purusa Artha merupakan ajaran yang bersifat universal dan berlaku sepanjang jaman. Di dalam Kitab Brahma Purana, dapat kita jumpai kutipan mengenai Catur Purusa Artha, seperti disebutkan di bawah ini:
“dharmaarthakamamoksanam sariram sadhanam”
Artinya: Tubuh adalah alat untuk mendapat Dharma, Artha, Kama, dan Moksa.
Kutipan diatas menjelaskan bahwa manusia harus menyadari apa yang menjadi tujuan hidupnya, apa yang harus dicarinya dengan badan yang dimilikinya. Semuanya tak lain adalah Catur Purusa Artha itu sendiri. Berikut adalah bagian-bagian dari catur Purusa Artha beserta Penjelasannya:
1.       Dharma
Kata Dharma berasal dari kata dhr  yang berarti menjinjing, memelihara, memangku, mengatur.  Jadi, dharma dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengatur atau memelihara dunia beserta semua makhluk. Menurut Santi Parva (109.11) bahwa semua yang ada di dunia ini telah memiliki dharma dan diatur oleh dharma. Sebagai contoh, manusia yang telah memelihara dan mengatur hidupnya untuk mencapai moksa adalah orang-orang yang telah melaksanakan dharma. Artinya, bahwa kewajiban-kewajiban daripada sorang manusia adalah melaksanakan Dharma demi mencapai moksa. Seperti yang diuraikan dalam kitab Sarassamuscaya berikut ini:

                Kamarthau lipsamanas tu dharmam evaditas caret
                Na hi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana
                Yan paramarthanya, yan arthakama bsadhyan, dharma juga
                Irekasakna rumuhun, niyata,katemwan in artha kama mne
                Tan paramartha wi katemwan in arthakama denin anasar saken dharma
Artinya: jika Artha dan Kama yang dituntut, maka seharusnya, lakukanlah Dharma terlebih dahulu, pasti akan diperoleh Artha atau Kama itu nanti, tidak akan ada artinya jika memperoleh Artha dan Kama tetapi menyimpang dari Dharma.

Ada sebuah kutipan seperti ini:
                Dharma su Satyam Utamam yang artinya Lakukanlah segala sesuatu berdasarkan Dharma. Artinya, jika kita hendak melakukan sesuatu, lakukanlah hal tersebut berdasarkan Dharma, jangan pernah menyimpang dari Dharma. Sebab, dengan melakukan Dharma terlebih dahulu, baik Kama atau Artha akan mengikuti. Sesungguhnya, Kebenaran Tertinggi adalah Brahman itu sendiri. Dharma itu seperti layaknya sebuah perahu. Perahu mengantarkan nelayan menyeberangi lautan, sedangkan Dharma adalah jalan untuk mencapai Tuhan (Brahman).

2.       Artha
Artha dapat diartikan sebagai tujuan hidup ataupun kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini, Artha lebih di fokuskan pada kekayaan atau harta. Agama Hindu sangatlah memperhatikan kedudukan dan fungsi artha dalam kehidupan. Mencari Harta atau Kekayaan, bukanlah sesuatu yang dilarang, malahan itu merupakan hal yang dianjurkan asalkan semuanya itu diperoleh berdasarkan Dharma dan digunakan untuk kepentingan Dharma pula. Dalam Agama Hindu, sebenarnya Artha bukanlah merupakan tujuan. Melainkan, Moksa lah yang menjdai tujuan tertinggi umat Hindu yang hidup di dunia ini.  Artha hanyalah merupakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut yang sangat penting pula setelah Dharma.
Di dalam kitab Sarassamuscaya dijelaskan bahwa jika harta diperoleh dengan jalan Dharma, maka bahagia lah orang yang memperolehnya itu, tetapi jika harta tersebut diperoleh dengan cara Adharma, maka noda dan dosa lah yang ia dapatkan. Seperti itulah arti dari kutipan salah satu sloka di kitab Sarassamuscaya. Harta yang diperoleh seseorang harus dapat di bagi tiga, yakni:
a.       Sadhana ri Kasiddhan in dharma
Dipakai untuk memenuhi Dharma. Contohnya untuk melakukan kewajiban-kewajiban dharma, seperti  pelaksanaan Panca Yadnya.
b.      Sadhana ri kasiddhan in Kama
Dipakai untuk memenuhi Kama. Contohnya, untuk kesenian, olahraga, rekreasi, hobby, dan lain sebagainya.
c.       Sadhana ri kasiddhan in Artha
Dipakai untuk mendapatkan harta kembali, contohnya, untuk memproduksi sesuatu, berjualan, dan lain sebagainya.
                Dalam ajaran Agama Hindu berkali-kali ditekankan bahwa Harta tidak akan dibawa mati. Yang akan meringankan dan menuntun pergi ke akhirat adalah perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu, harta kekayaan hendaknya di sedekahkan, dipakai, dan diabdikan untuk perbuatan dharma. Hanya dengan cara demikian lah harta tersebut memiliki nilai yang utama.

3.       Kama
Kama dalam ajaran Agama Hindu berarti nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Kenikmatan tersebut merupakan salah satu tujuan hidup utama manusia karena manusia memiliki 10 indriya yaitu:
a.       Srotendriya                                : keinginan untuk mendengar
b.      Tvagendriya               : keinginan untuk merasakan sentuhan
c.       Caksvindriya               : keinginan untuk melihat
d.      Jihvendriya                 : keinginan untuk mengecap
e.      Ghranendriya            : Keinginan untuk mencium
f.        Wagindriya                 : keinginan untuk berkata
g.       Panindriya                   : keinginan untuk memegang sesuatu
h.      Padendriya                 : keinginan untuk bergerak atau berjalan
i.         Payvindriya                 : keinginan untuk membuang kotoran
j.        Upasthendriya          : keinginan untuk enikmatan dengan kelamin
Kesepuluh indriya tersebut menyebabkan manusia berbuat sesuatu, perasaan ingin tahu. Kita harus dapat mengontrol indria tersebut agar tidak terjerumus kepada hal-hal negative karena sering sekali indria menjerumuskan manusia ke arah yang negatif jika manusia itu tidak dapat mengendalikan indria itu sendiri. Menurut ajaran agama Hindu, Kama atau nafsu tidak ada artinya jika diperoleh dengan cara yang menyimpang dari Dharma. Karena Dharma menduduki tempat paling utama dari Kama dan menjadi pedoman dalam mencapai Kama. Dalam kekawain Ramayana, dikatakan bahwa, Kenikmatan (Kama) hendaknya terletak dalam kemungkinan yang diberikan kepada orang lain untuk merasakan kenikmatan. Jadi,pekerjaan yang bersifat ingin menguntungkan diri sendiri dalam memperoleh harta dan kenikmatan tidak dilaksanakan.

4.       Moksa
Moksa merupakan tujuan tertinggi umat Hindu. Moksa memiliki arti, yakni pelepasan atau kebebasan. Maksud dari kebebasan disini adalah kebahagiaan dimana atma dapat terlepas dari pengaruh maya dan ikatan Subha-Asubha Karma, serta bersatunya sang Atman dengan Brahman (asalnya). Moksa juga dapat diartikan sebagai Mukti atau Nirvana. Pada hakekatnya, manusia mengharapkan kebahagiaan yang tertinggi (Sat Cit Ananda).  Namun kebahagiaan seperti ini tidak dapat kita rasakan di kehidupan duniawi ini. Menurut ajaran Agama Hindu, Kebahagiaan yang kekal dan abadi hanya di dapat dengan persatuan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Moksa. Umat manusia harusnya sadar bahwa perjalanan hidup mereka di dunia adalah untuk mencari Ida Sang Hyang Widhi dan bersatu dengan beliau. Tentu kita tidak mengharapkan kembali bahwa kita akan lahir ke dunia berulang-ulang dan sengsara. Apabila kita masih lahir ke dunia, itu berarti kita belum mencapai Kebahagiaan yang tertinggi.
                Seperti layaknya kita menyeberangi Samudera, tentu mencapai Beliau (Brahman) bukanlah sesuatu yang mudah untuk di lakukan. Akan tetapi, semua itu dapat diperoleh jika jalan yang kita tempuh untuk mencapai Beliau adalah dengan jalan Dharma. Lagi-lagi disini diuraikan mengenai Dharma. Ya, itu semua memang harus berlandaskan Dharma, karena Tuhan/Brahman itu adalah kebenaran itu sendiri. Sangat mustahil sekali, jika kita mencapai beliau dengan jalan Adharma. Jangankan mencapai Brahman, untuk mencapai Artha dan Kama pun kita tidak akan mampu jika melakukannya. Tujuan umat hindu sesungguhnya untuk mencapai dan melaksanakan Dharma sebagai pengendali Artha dan Kama yang merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, yakni mencapai Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Moksa.
Adapun kaitan Catur Purusa Artha dengan Catur Asrama. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa Catur Asrama adalah empat tingkatan hidup manusia, mulai dari Brahmacari (masa menuntut ilmu), Grhasta (masa berumah tangga), Wanaprastha (mulai meninggalkan kehidupan materi), dan Biksuka/sanyasin (melepaskan keterikatan duniawi).  Keempat tingkatan ini hanya bersifat informal yang nantinya memiliki kaitan erat dengan Catur Purusa Artha, dengan kata lain, Catur Purusa Artha merupakan filsafat hidup dari Catur Asama.
Dalam tingkatan hidup Brahmacari, kedudukan Dharma (dalam hal ini Kebenaran) sangatlah penting. Dharma adalah tujuan pokok dalam tingkat hidup Brahmacari. Artha dan Kama belum begitu mendapat tempat penting disini. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa mencari Artha, Kama dan Moksa maka Brahmacari merupakan dasar Asrama yang lain Grhasta, Wanaprastha, dan Biksuka. Tingkat hidup pada masa Brahmacari ini sering sekali di sebut sebagai aguron-guron atau asewaka guru yang artinya adalah suatu tingkat kehidupan yang memerlukan ketekunan, kesungguhan. Karena pada tahap ini, seorang sisya/murid mendapatkan wejangan-wejangan dari guru yang berarti juga mendapatkan ilmu pengetahuan dari sang guru. Tentunya mendapatkan pengetahuan seperti ini memerlukan sikap kesungguhan. Pada tahap Brahmacari ini juga, seseorang dapat membentuk wataknya berdasarkan pada Dharma.
Lain halnya dengan Grhasta, melewati masa Brahmacari, seseorang wajib memasuki masa Grhasta. Dalam tingkat hidup Grhasta, masalah artha dan Kama menjadi tujuan hidup yang sangat penting. Seseorang yang telah memasuki masa Grhasta akan memiliki kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan masalah masyarakat maupun dengan masalah keagamaan. Di samping memiliki kewajiban untuk melanjutkan sebuah keturunan, seorang Grhastin (sebutan untuk orang yang menjalani thap Grhasta) berkewajiban juga melaksnakan yadnya, seperti Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Tingkatkehidupan Grhasta merupakan tingkatan hidup yang sangat berat. Namun, apabila semua kewajiban-kewajiban tersebut dapat di laksanakan berdasarkan dengan dharma, maka hidup ini akan sangat mulia.
Selanjutnya ketika seseorang telah masuk ke masa Brahmacari dan Grhasta, selanjutnya adalah masa Wanaprastha (masa untuk mengasingkan diri). Seseorang yang telah masuk dalam masa Wanaprastha, akan mulai mengasingkan dirinya dari kegiatan kehidupan kemasyarakatan. Dalam hal ini, berarti Artha dan Kama mulai berkurang sehingga, Artha dan Kama dalam tingkat hidup Wanaprastha tidak memiliki kedudukan yang penting. Apabila seseorang sudah memasuki masa Wanaprastha ini, berarti seseorang itu sudah berani melepaskan diri dari ikatan Kama dan Artha. Karena tujuan pokok dari Asrama ini adalah untuk mencapai moksa. Untuk dapat menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi, maka pada masa ini kegiatan yang lebih banyak dilakukan dalam masa ini adalah tapa brata dan semadhi.
Tingkat hidup yang terakhir dalam Catur Asrama adalah Sanyasin atau Biksuka. Sesungguhnya, pada tingkat Wanaprastha dan Biksuka tidak banyak bedanya. Dalam tingkat Sanyasin, seseorang benar-benar telah matang dalam semadhinya. Seorang Sannyasa benar-benar sudah tidak memiliki keinginan untuk mencari Kama maupun Artha lagi. Hanya satu yang menjadi keinginannya, yakni mencapai penunggalan Ida Sang Hyang widhi yang berupa suka tan pawali duka yaitu Moksa. Seorang Sannyasa akan lebih banyak melakukan dharma yatra atau tirtha yatra yaitu mengunjungi tempat-tempat suci.  Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam masa Brahmacari, saat Dharma merupakan tujuan utama adalah merupakan tingkat hidup yang sangat menentukan berhasilnya tingkat hidup yang lain, yakni Grhasta, Wanaprastha, dan Biksuka. Dengan kata lain, Grhasta, Wanaprastha dan Biksuka tidak akan tercapai dengan baik tanpa menghayati Dharma.
“Hendaknya seseorang mendapatkan Artha dan Kama dengan jalan Dharma, sebab jika bukan dengan jalan dharma memperolehnya, maka hanya dosa yang akan di dapat. Bukan juga kebahagiaan (Brahman) melainkan kesengsaraan yang akan menyebabkan kita dapat lahir kembali kedunia untuk memperbaiki karma kita di masa dahulu. Karena dengan kita banyak melakukan kebaikan (Dharma) maka Artha dan Kama akan mengikuti dengan sendirinya”
Om Santih Santih Santih Om,