Seperti yang telah kita ketahui bersama,
bahwa bekerja tidak hanya menjadi seorang karyawan atau pegawai. Menurut pandangan
hindu, ngayah juga termasuk dalam salah satu pekerjaan, tetapi pekerjaan yang
tidak mengharapkan upah atau hasil. Ngayah tentu bukan merupakan hal aneh bagi
umat hindu umumnya, atau masyarakat Hindu Bali khususnya. Dalam berbagai
kegiatan keagamaan Hindu, ngayah itu bagai “Oksigen” yaitu suatu kebutuhan
hakiki yang menghidupkan darah religiusitas kita. Tapi pada saat yang sama
ngayah sekaligus bagai “air dan api kosmis” yang mencuci jernih keruh-keruh
karma kita atau membakar bebaskan benih-benih kemalasan (tamasa) yang
mencengkram Dharma kita. Sejauh mana manusia Hindu memahami, menghayati dan
merefleksikan ngayah dalam kehidupan keagamaannya? Secara intra-personal (dalam
hubungan manusia dengan Tuhannya) adalah terpulang kepada manusia Hindu
bukanlah manusia yang terasing secara inter-personal (hubungan horizontal
antara yang satu dengan yang lainnya) atau sosio-kultural. filosofi ngayah
sangat relevan kita angkat sebagai “Pratipadhya”(topik) untuk diperbincangkan
dalam tulisan ini, terutama dalam konteknya dengan kehidupan
sosioreligius-kultural Hinduisme. Mengapa dan untuk apa kita ngayah? Apa sih
sesungguhnya arti dan makna dari ngayah itu dalam hidup keagamaan kita? Dan
seratus pertanyaan bisa bermunculan dari topik tersebut.
Ngayah secara harfiah memiliki arti melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah
(kamus Bali-Indonesia,1990) Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari
konteks politik dan kultur feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar
kata “Ayah”yang terpancar dari budaya PURUSAISME atau Patrilineal/Patrirhat
(garis keturunan ayah), terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka
kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada Tanah
ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan konskuensinya. Sebagai
salah satu wujud tanggung jawab dalam ngayah, ada beberapa kewajiban yang harus
dipenuhi/dijalankan oleh seseorang yang mendiami tanah ayahan, yakni:
1.
Kewajiban religius-teritorial, terutama Pura Kahyangan Tiga (pengayah
pura)
2.
Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural banjar adat
(pengayah banjar adat)
3.
Kewajiban berupa dedikasi, loyalitas berkaitan dengan raja-raja yang
memerintah pada masa itu (pengayah puri). Karena sebagian tanah-tanah ayahan
itu adalah pemberian dari raja yang diperoleh (sebagai rampasan perang) atas
penaklukan kerajaan/ daerah lain.
Dari latar belakang sosiologis dan historis
semula kata ngayah berasal dari kata ayah, pengayah, ayahan, dan ngayahang,
saling terkait dan telah membawa konsekuensi logis bagai pengayah untuk
melakukan kewajiban sosio-religiuskultural, yakni ngayahang. Konsekuensi
eksistensislistis ini juga berimplikasi terhadap kenyataan lingual budaya
ngayah itu sendiri. Namun sering kali muncul pertanyaan, “apakah ngayah masih
relevan untuk jaman sekarang ini?” jawabannya, “ya”. Refleksi ethos ngayah
dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan catatan, bahwa segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia Hindu itu
dilandasi Jiwa Dasyam yang tulus dan ikhlas kepada Ista Dewata (Hyang
Widhi dalam segala perwujudannya sebagai SAGUNA BRAHMAN, atau pun dalam
ketidakberwujudannya sebagai NIRGUNA BRAHMAN yang dipuja/puji sebagai
satu-satunya perlindungan). Bentuk pemahaman, penghayatan dan implementasi
ngayah dalam arti luas ini, antara lain dapat direfleksikan melalui menulis
cerita-cerita ke-Tuhanan, menulis buku-buku agama, Dharma wacana, menyekolahkan
anak yatim/piatu, mengajarkan tentang agama dan sebagainya.
Adapun hakikat filosofi ngayah yang menjelaskan
bahwa aktivitas ngayah masih melekat dalam sikap bathin dan budaya manusia
Hindu yang selalu berpegang pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah”
dan “ibadah dalam kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat)
pemahaman demikian tertuang salam motto “ora et labora” (bekerjalah dan
berdoalah). Paham kerja dalam folosofis ini ialah representasi kerja dari
sesosok “para bhakta” sebagai “Dasyam” kepada Ista Dewata. Seperti isi
sloka yang terdapat dalam kitab Bhagavad Gita bab II sloka 47 berikut ini:
Karmany evadhikaras te
ma phalesu kadacana ma karma phala heturbhur
ma te sanggostava akarmani
artinya: Hanya berbuat untuk kewajiban bukan hasil perbuatan itu (kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu bekerja, jangan pula tidak bekerja (sebab tak berharap pahala).
Dalam paham kerja ini, hanya semata-mata untuk
pahala material (pamrih), atau sama sekali tidak bekerja, (nirkarma) karena
semata-mata sesempit “angin di kurungan ruas bambu” sindiran Mpu Kanwa. Etika
keutamaan yang berabad-abad telah dikemukan oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles
yang pada dasarnya berorientasi pada “being human”, dengan rumusan “what
kind of person should I be?” (saya harus menjadi orang yang bagaimana).
Sedang etika kewajiban yang dikembangkan oleh David Hume, dan Kant
bagi kehidupan zaman modern, pada prinsipnya berorientasi pada “ doing human?”
dengan rumusan “what should I do?”(apa yang harus saya lakukan?).
Rumusan ini bagi sosok manusia Hindu lebih jauh diperdalam dalam pemahaman
“kharisma” yang di sebut “Taksu”. Konsep ini spiritual taksu menjadi dasar baik
dalam representasi paham kerja yang mengacu pada being maupun doing manusia.
konsep ini tidak semata-mata memberi pergulatan teknik, tapi juga religius yang
pengayan dan pendalaman atas nuansa spiritual dan theologisnya tentu berbaris
pada aktivitas NGAYAH.
Dalam tatanan inilah kegiatan ngayah secara
filosofis adalah upaya yang otomatis memiliki hakikat kebebasan eksistensial
ini, seperti di sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh
dari langit yang dinyatakan : “tan hanang wastu tan palalayan” (tiada
anugerah tanpa suatu usaha sungguh-sungguh untuk menggapai-Nya. Berikut ini ada
beberapa sloka yang memuat etos kerja menurut pandangan hindu:
1.
Atharvaveda XX.18.3
Icchanti
devah sunvantam
Na
svapnaya sprhayanti.
Yanti
pramadam atandrah.
Artinya:
Para dewa menyukai
orang-orang yang bekerja keras. Para Dewa tidak menyukai orang-orang yang
gampang-gampangan dan bermalas-malas. Orang-orang yang selalu waspada mencapai
kebahagiaan yang agung.
2.
Atharvaveda X. 53. 8
Krtam me
daksine haste
Jayo me
savya ahitah
Gojid
bhuyasam asyajid
Dhanamjayo
hiranyajit
3.
Rgveda X
42. 10
Gobhis tarkma-amatim durevam
Yavena ksudham puruhuta visvam
Vayam rajabhih prathama dhanani-
Asmakev janena jayema
Artinya: Ya, Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, semoga kami
menyeberangi kemiskinan yang tidak bisa itu dengan memperoleh sapi-sapi betina
itu. Semoga kami mengatasi rasa lapar kami dengan memilikki makanan padi-padian
seperti gandum, semoga kami memperoleh kekayaan dari para raja dan mencapai
keberhasilan dengan usaha-usaha kami.
4.
Rgveda
X. 117.7
Krsan it phala asitam krnoti
Yan adhvanam apa vrnkte caritraih
Vadan brahma vadato vaniyan
Prnan apir aprnantam abhi syat
Artinya: Sebuah mata bajak yang membajak menghasikan
padi-padian, seorang laki-laki yang berjalan menteberangi jalanan. Seorang
laki-laki yang terpelajar menyanyikan mantra-mantra Veda, adalah lebih unggul
daripada seorang yang tetap diam. Orang yang dermawan melebihi orang yang tidak
menolong temannya.
5.
Rg veda
VII.32.9
Ma sredhata somino daksata mahe
Krnudhvam raya atuje
Taranir ij jayati kseti pusyati
Na devasah kavatnave
Artinya: Wahai orang-orang yang berpikiran mulia,
janganlah tersesat, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras
untuk mencapai tujuan-tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk
memperoleh kekayaan. Orang yang bersemangat (tekun sekali) berhasil, hidup
berbahagia dan menikmati kemakmuran. Para dewa tidak pernah menolong orang yang
bermalas-malas.
6.
Canakya
Nitisastra VII.2.
Dhana-dhanya prayogesu vidya saygrahanenu ca,
Ahare vyahara ca tyakta lajjaa sukhi bhavet
Artinya: Dalam urusan mencari beras dan dalam urusan
keuangan, dalam hal menuntut ilmu, dalam hal menikmati makanan dan dalam hal
berdagang, orang hendaknya meninggalkan rasa malu. Orang tersebut akan memperoleh kebahagiaan.
7.
Sarasamuccaya 261
Dharmenarthah
samaharyo
Dharmalabdham
triad dhanam,
Kartavyam
dharma paramam
Manavena
prayatnatah
Artinya:
Dengan cara berusaha
memperoleh sesuatu hendaklah berdasarkan dharma. Dana yang diperoleh karena
usaha, hendaklah dibagi tiga, guna melaksanakan (biaya) mencapai yang tga itu;
perhatikanlah itu baik-baik.
Dari sloka di atas, dapat disimpulkan bahwa bekerja
menurut pandangan Hindu adalah, bekerja yang sesuai dengan kewajibannya dan
dharma, janganlah hasil yang diharapkan. Melakukan pekerjaan sendiri meskipun
tidak sempurna, lebih baik daripada melakukan pekerjaan orang lain tapi dengan
sempurna. Meskipun bekerja dalam hal ini tidak harus selalu dikaitkan dengan
ngayah, yang terpenting, pekerjaan yang dilakukan harus berlandaskan dengan
dharma. Untuk memperoleh kekayaan yang berlimpah, seseorang harus melakukan
usaha dan kerja keras tentunya disertai dengan berdoa. Karena Tuhan/ Brahman
tidak akan mengasihani orang-orang yang bermalas-malasan.
Dengan berkaca pada sloka-sloka di atas, tentunya
masyarakat hindu memandang jenis pekerjaan bukanlah hanya sekedar ngayah saja,
melainkan banyak pekerjaan lain yang dapat dilakukan, dengan catatan bahwa
pekerjaan tersebut baik dan harus dilaksanakan sesuai dengan dharma. Dan
janganlah kita sekali-sekali melakukan pekerjaan orang lain dengan sempurna
tetapi pekerjaan sendiri tidak dilakukan dengan sempurna. Dalam konteks ini,
bukan berarti kita tidak boleh menolong sesama, tetapi yang dimaksud dalam hal
ini adalah mengambil pekerjaan orang lain yang bukan merupakan tanggung jawab
kita. Di dalam ajaran agama hindu juga terdapat ajaran Karma Marga Yoga yang
merupakan etos kerja atau budaya kerja bagi bagi umat Hindu di dalam usaha
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin.
https://docs.google.com/file/d/0B2LQRHIEG0PhSzV6akJCVkhDNWc/edit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar